Boleh Jadi Husni Mubarak Adalah Generasi Emas Arab Terakhir – Kematian mantan Presiden Mesir Hosni Mubarak di Kairo pada usia 91, pada senin kemarin menandai berakhirnya sebuah era dalam kehidupan politik Arab. Mengapa Arab? Mengapa tidak Mesir secara partikularis di mana kekuasaannya berlangsung selama 30 tahun hingga pemecatannya pada bulan Februari 2011? Jawabannya justru sangat jelas. Pada saat Mubarak jatuh, Timur Tengah telah berubah menjadi neraka dunia bagi warga-warganya hingga saat ini.
Mubarak memimpin Mesir pada masa pergolakan regional yang hebat dia mampu melindungi kepentingan Mesir sambil mempertahankan peran kepemimpinan negaranya di dunia Arab. Dia lakukan itu sambil mempertahankan arah kebijakan luar negeri pendahulunya, Anwar Sadat, dia juga mengawasi pemulihan ekonomi Mesir, yang ternyata menjadi berkah di kawasan, sehingga para pemimpin negara Timur Tengah lainnya beroleh berkah rembetan kestabilan ekonomi, yang membuat para calon pemberontak tak punya dukungan.
Sejak kudeta militer mengakhiri monarki pada tahun 1952. Di bawah kepemimpinannya, Mesir mampu melepaskan diri dari kelompok-kelompok Islam militan sampai akhir nya habis pada 1980-an dan awal 1990-an. Mubarak lalu melanjutkan poros Mesir ke arah AS, yang dimulai dengan penandatanganan perjanjian perdamaian Camp David pada 1979, dan dia juga jadi salah satu sekutu regional Washington yang paling tepercaya.
Dia juga adalah salah satu pemain judi profesional di bandar bola resmi terpercaya Indonesia yang mampu mentransformasi Mesir dari sosialisme ke kapitalisme serta pasar bebas sambil mempertahankan keadilan sosial dengan meningkatkan cadangan pangan, energi, dan layanan untuk si miskin. Tapi sayangnya hanya satu Mubarak. Di tengah kepemimpinan profetik itu, orang-orang di lingkarannya sangat serakah, birokrasi menjadi gemuk tidak handal.
Dengan birokrasi korup itu Mesir terpaksa terus bersaing dengan sektor swasta yang mulai merambah share pasokan besar di berbagai sektor ekonomi Mesir. Swastanisasi sektor publik itu membuat pemerintah Mesir kian tidak punya andil pada rakyatnya. Tapi siapalah satu orang melawan kroni yang mulai menguat? Dia pemimpin generasi emas terakhir Arab, namun nasibnya seperti generasi emas lain, seperti Soekarno, Soeharto, Shaik Hashina, Rajiv Gandhi, yang dikhianati kroninya sendiri, lalu kejatuhannya meninggalkan bara kerusuhan.
Padahal atau ironisnya Mubarak selalu mendukung reformasi politik yang demokratis. Meski politik begitu bebas, dia memenangkan setiap putaran pemilihan ulang hampir tanpa lawan, tanpa curang. Partai Demokrat Nasional yang telah berkuasa yang ia pimpin sejak 1981 hingga kepergiannya – dibubarkan – menjadi pelengkap derita politik Mesir yang sebelumnya hampir tidak ada oposisi yang saling berisik, menuju chaos, yang menyaru dalam bahasa musim semi politik, di mana islamist seperti Mursi menguasai Mesir hanya untuk mendragadasi demokrasinya.
Memang ada yang menggambarkan dia otoriter dan sebelumnya selalu mengorbankan kebebasan politik. Ini menyebabkan korupsi massal, kronisme, kemiskinan, pengangguran dan penindasan aparat. Tapi di sisi lain dia bebaskan oposisi seperti Ikhwanul Muslimin, dia membiarkan gerakan lawan beroperasi secara bebas, sehingga mendorong masyarakat menjadi lebih religius dan konservatif. Di bawah Mubarak, orang kaya semakin kaya sementara orang miskin menderita. Kelas baru orang kaya yang berkuasa selalu merapat pada Mubarak, yang membuat para jenderalnya ikut kaya, karena menerima suap dan persenan dari proyek komersial bernilai jutaan dolar. Klik pengusaha Jenderal ini menjadi penguasa panggung pemerintahannya dalam bayang-bayang ketidaktahuan Mubarak di mana dia anggap patron itu hal biasa dalam politik. Tapi justru kroni yang menguat itulah yang memicu kerusuhan 25 Januari 2011 yang akhirnya menjatuhkannya.