Suriah, Akankah Ada Akhir Kisah Yang Manis? – Perang Suriah tidak menunjukkan tanda berakhir pada dasawarsa ketiga awal milenium ini. Pasukan Demokratik Suriah (SDF) yang didukung AS untuk melawan pasukan Suriah akan perlahan-lahan dirangkul kembali ke dalam tentara Suriah berbasis Damaskus, demikian juga nasib pasukan lain selain SDF yang bertempur demi kepentingan Amerika, seperti laskar independen Kurdi. SDF sendiri, ditinggalkan dalam sekejap oleh pemerintahan Amerika Serikat, atau lebih khusus oleh Presiden Donald Trump, di mana dia telah membuat kesepakatan dengan pemerintah Suriah.
SDF terjebak di antara dua rezim yang tidak menyukai mereka, rezim Presiden Suriah Bashar Al-Assad, dan rezim Presiden Turki Recep Tayyip Erdogan. Erdogan sendiri sudah memfatwakan mati kepada para militan bersenjata di utara Suriah, dia bersumpah akan melenyapkan SDF dan laskar Kurdi yang menuntut kemerdekaan, di Turki, Suriah dan di tempat lain. Dapat dimengerti, mengapa pada akhirnya SDF memilih bergabung kembali dengan Suriah Assad.
Serangan Turki dimulai dari akhir tahun lalu, mengamuk terus mengamuk, dan mungkin tidak akan segera berakhir. Tapi hal ini menandai penutupan tirai dari kisah yang bikin berantakan satu generasi di Eufrat Tigris, mimpi buruk delapan tahun yang melanda Suriah dari negeri penuh eksotisme tempat bersejarah, menjadi sejarah penuh darah. Hanya ada dua hambatan yang tersisa untuk menutup buku tentang pertumpahan darah ini. Pertama Idlib, provinsi di barat laut Suriah yang saat ini berada di bawah kendali kelompok pemberontak serta dijejali jutaan warga sipil anti Assad yang melarikan diri ke sana. Bab Idlib ini akan menjadi bab yang paling sulit ditutup.
Lalu ada bab Kurdi, mereka yang menikmati kedamaian di era Suriah yang saat ini berada di bawah kendali Turki, khususnya bagian barat, yang sebagian besar merupakan distrik Afrin Kurdi, yang diduduki oleh Turki awal tahun lalu, dan wilayah-wilayah yang diserang oleh Turki dan milisi pemberontak Suriahnya pada minggu lalu.
Walau demikian Pasukan AS di Suriah akan tetap tinggal, untuk saat ini, di Tanf, di tenggara Irak, dan ditempatkan di sana untuk mencegah aliran bantuan senjata dari Iran, melalui Irak, ke Suriah. Tetapi, jika rezim Suriah mendapatkan kembali kendali atas keseluruhan timur laut, Tanf tidak akan ada gunanya lagi, sehingga Presiden Trump, tidak akan rela menghabiskan anggaran untuk tempat yang tidak ada guna.
Sudah jelas siapa yang menang. Yang pertama dan terpenting adalah pemerintah Suriah, yang pada pertengahan 2015 di ambang kehancuran sampai Rusia melakukan intervensi militer untuk menopangnya. Rusia, tidak seperti Amerika Serikat, mendukung penuh sekutunya dengan cara mengirim pasukan terbaiknya. Sementara AS, hanya dukung dana dan senjata untuk para pemberontak atas nama mendukung demokrasi, tanpa sedikitpun ikut bertempur.
Demikian juga Iran, yang telah sangat dekat dengan Damaskus sejak revolusi Iran 1979. Mereka mengirim pasukan, senjata, amunisi, dan penasihat mengibangi Russia, karena tidak ingin minoritas Syiah di Suriah jadi penonton yang tidak punya andil.
Di bagian yang kalah jelas Amerika Serikat. Petualangan yang sukses di Libya, Irak, dan Afghan tidak ROI di Suriah. Pemerintahan Trump akhirnya bosan, dia punya proyek pergi ke Bulan, ongkosnya pun mahal, jadi bantuan untuk perangi Assad dihilangkan dari buku kas pemerintahannya. Kini perang proxy Suriah hampir berakhir. Apakah perlu dirayakan? Tidak perlu, tidak ada yang gembira di sini, semuanya sedih.